Kamis, 24 Februari 2011

Sejarah dan Latar Belakang Berdirinya Nahdlotul Ulama (NU)

Sebagai “kebangkitan kaum ulama”, Nahdlatul Ulama berdiri untuk mempertahankan kehidupan keagamaan berdasarkan empat mazhab, tapi juga untuk membendung sikap kaku kaum Wahabi.

Begitu Perang Dunia I berakhir pada 1918, Kesultanan Turki Usmani di Turki guncang. Sementara kekuasaan sultan – yang meneruskan tradisi kekhalifahan Islam di seluruh dunia – mulai dipersoalkan oleh kaum nasionalis Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Pasha. Akhirnya, pada 1922, Majelis Rakyat Turki menghapus kekuasaan Sultan Abdul Majid dan menjadikan Turki sebagai republik. Dan dua tahun kemudian Majelis menghapuskan lembaga khilafat.

Perkembangan politik di Turki tersebut ternyata cukup bikin bingung dunia Islam. Ada di antara para pemimpin Islam yang kemudian mulai berpikir untuk membentuk khilafat baru. Termasuk kaum muslimin Indonesia, yang merasa ikut bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah tersebut. Saat itu, pada 1924, kebetulan Mesir sedang mempersiapkan sebuah muktamar tentang masalah khilafat tersebut.

Untuk mengantisipasi diselenggarakannya kongres tersebut, pada 4 Oktober 1924 sejumlah ormas Islam membentuk Komite Khilafat di Surabaya. Komite itu diketuai oleh Wondoamiseno (Sarekat Islam), dengan K.H.A. Wahab Chasbullah (kalangan pesantren) sebagai wakil. Dalam Kongres Al-Islam III di Surabaya, Desember 1924, antara lain diputuskan untuk mengirim delegasi ke Kongres Khilafat di Kairo, yang beranggotakan Suryopranoto (Sarekat Islam), A.R. Fachruddin (Muhammadiyah), dan K.H. Wahab Chasbullah (pesantren).

Ternyata Kongres Khilafat di Kairo ditunda, karena perhatian umat Islam seluruh dunia tertuju pada perkembangan di Hijaz (kini Arab Saudi) ketika Ibnu Saud – yang kemudian menjadi raja – mengambil alih kekuasaan Syarif Husein. Berkolaborasi dengan para ulama Wahabi, pemerintahan baru di Hijaz mulai melakukan pembersihan terhadap praktik beragama yang dianggap tak sesuai dengan paham Wahabi, paham yang menganggap praktik-praktik kaum tradisionalis yang tidak tertera dalam Al-Quran dan hadis adalah bid’ah (lihat Kisah Utama Alkisah No. 16/2005). Di Indonesia, gerakan Wahabi itu di satu pihak mendapat sambutan baik dari kalangan Islam modernis, tapi di lain pihak ditolak oleh kalangan kiai dan pesantren.
Pada 21-27 Agustus 1925, digelar Kongres Al-Islam IV di Yogyakarta. Salah satu agendanya ialah membahas undangan Raja Ibnu Saud kepada umat Islam Indonesia untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Makkah. Undangan itu juga dibahas dalam Kongres Al-Islam V di Bandung, 5 Februari 1926. Dalam kedua kongres tersebut, kaum muslim modernis, seperti Muhammadiyah dan Sarekat Islam, sangat mendominasi.

Bahkan sebelumnya, 8-10 Januari 1926, mereka juga sudah menggelar pertemuan tersendiri. Dalam pertemuan tersebut diputuskan mengirim H.O.S. Tjokroaminoto (Sarekat Islam) dan K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah) untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Makkah. Keputusan itu kemudian diperkuat dalam Kongres Al-Islam V di Bandung.

Dalailul Khayrat

K.H.A. Wahab Chasbullah, yang mewakili komunitas kiai dan pesantren, seperti tersingkir dari arena kongres. Beberapa usul yang ia ajukan berdasarkan aspirasi kaum tradisionalis tidak mendapat tanggapan. Begitu pula saran agar Raja Ibnu Saud menghormati tradisi keislaman sebagaimana tercantum dalam kitab Dalailul Khayrat, sepertinya tidak digubris.

Akhirnya, Kiai Wahab dan tiga santrinya meninggalkan arena kongres. Mereka lalu menyelenggarakan pertemuan dengan para ulama di Surabaya. Dalam pertemuan-pertemuan seperti itu, Kiai Wahab tak jemu-jemunya menyodorkan gagasan perlunya membangun sebuah jam’iyah (perkumpulan) kepada para ulama, termasuk kepada gurunya, K.H. Hasjim Asj’ari. Namun, Kiai Hasjim tidak serta merta menerima dan merestui ide tersebut, sebelum melakukan shalat Istikharah selama beberapa bulan.

Dalam pada itu diam-diam Kiai Cholil dari Bangkalan mengamati perkembangan tersebut. Kiai Cholil adalah guru Kiai Hasjim dan Kiai Wahab. Suatu hari ia memanggil seorang santri yang juga masih cucunya, As’ad Syamsul Arifin, yang ketika itu baru berusia 27 tahun. “Saat ini Kiai Hasjim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” kata Kiai Cholil sambil menyerahkan sebatang tongkat. “Baik, Kiai,” jawab As’ad, yang kelak juga menjadi ulama besar.

Lalu Kiai Cholil berpesan kepada cucunya itu, “Bacakanlah ayat-ayat ini kepada Kiai Hasjim: Wama tilka biyaminika ya Musa. Qala hiya ‘ashaya atawakka’u ‘alaiha wa ahusysyu biha ‘ala ghanami awliya fiha ma’aribu ukhra. Qala alqiha ya Musa. Faalqaha faidza hiya hayyatun tas’a. Qala khudzha wala takhaf sanu’iduhi siratahal ula. Wadhmum yadaka ila janahika tahruj baidha’a min ghairi su’in ayatan ukhra. Linuriyaka min ayatinal kubra.” (QS 20: 17-23). Ayat-ayat tersebut mengungkapkan kualitas kepemimpinan Nabi Musa.

Artinya, “Apakah yang di tangan kananmu, hai Musa?” Jawab Musa, “Ini tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul untuk kambingku, dan ada lagi manfaat yang lain.” Allah berfirman, “Lemparkanlah tongkat itu!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu. Maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut. Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula. Kepitkanlah tangan ke ketiakmu, niscaya ia menjadi putih cemerlang tanpa cacat sebagai mu’jizat, untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar.

Maka As’ad pun segera menuju ke Pesantren Tebuireng, kediaman Kiai Hasjim. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tongkat ini kepada Kiai,” kata As’ad sambil mengulurkan sebatang tongkat. Kiai Hasjim menerimanya dengan penuh khidmat. “Ada lagi yang hendak engkau sampaikan?” tanya Kiai Hasjim.

“Ada, Kiai,” jawab As’ad, kemudian membacakan ayat-ayat yang disampaikan oleh Kiai Cholil. Mendengar ayat-ayat itu, hati Kiai Hasjim tergetar. Matanya menerawang, mengenang wajah Kiai Cholil yang tua dan bijak. Ia menangkap isyarat, gurunya itu tidak keberatan jika ia dan teman-temannya mendirikan sebuah jam’iyah.

Sejak itu, keinginan untuk mendirikan jam’iyah semakin matang. Beberapa tahun kemudian, pemuda As’ad muncul lagi. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyampaikan tasbih ini,” katanya. “Kiai juga diminta mengamalkan doa Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap saat,” tambah As’ad. Sekali lagi, pesan gurunya itu diterima oleh Kiai Hasjim dengan penuh khidmat. Dan kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan sebuah jam’iyah.

Empat Mazhab

Setahun kemudian, 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H, dalam sebuah pertemuan di rumah Kiai Wahab di Surabaya, yang dihadiri sejumlah ulama dari beberapa pesantren besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, para kiai sepuh sepakat mendirikan Komite Hijaz untuk mengantisipasi gerakan Wahabi, yang didukung secara politik oleh Raja Ibnu Saud. Pertemuan bersejarah itu memang dihadiri oleh beberapa ulama senior yang berpengaruh, seperti K.H. Hasjim Asj’ari, K.H. Bisri Sansuri (keduanya dari Jombang), K.H. Ridlwan Abdullah (Surabaya), K.H. Asnawi (Kudus), K.H. Ma’sum (Lasem), K.H. Nawawi (Pasuruan), K.H. Nahrowi (Malang), K.H. Alwi Abdul Aziz (Surabaya), dan lain-lain.

Pertemuan tersebut antara lain memutuskan, mengirim delegasi yang terdiri dari K.H. Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Ghunaim Al-Mishri untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Makkah sekaligus menemui Raja Ibnu Saud. Mereka membawa pesan para ulama agar Ibnu Saud menghormati ajaran mazhab empat dan memberikan kebebasan dalam menunaikan ibadah. Dalam jawaban tertulisnya, Ibnu Saud hanya menyatakan akan menjamin dan menghormati ajaran empat mazhab dan paham Ahlusunnah wal Jama’ah.
Pertemuan para ulama di Surabaya itu juga menyepakati pembentukan sebuah jam’iyah sebagai wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin). Jam’iyah itu diberi nama Nahdlatoel Oelama (kebangkitan kaum ulama), yang antara lain bertujuan membina masyarakat Islam berdasarkan paham Ahlusunnah wal Jama’ah. Pertemuan tersebut sebenarnya juga merupakan reaksi terhadap policy pemerintah Hindia Belanda yang membatasi umat Islam menunaikan ibadah haji.

Hal itu juga didasarkan pada pengalaman dakwah Walisanga, yang secara cerdas dan kreatif mengislamkan Nusantara tanpa gejolak – yang membedakan Nahdlatul Ulama dengan gerakan Islam modernis. Pada awal berdirinya, NU belum menetapkan anggaran dasar. Baru pada muktamar 1928, organisasi ini menetapkan anggaran dasar untuk mendapatkan pengakuan pemerintah Hindia Belanda. Belakangan, Nahdlatul Ulama menetapkan anutannya terhadap empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) demi kemaslahatan umat. Artinya, NU tampil sebagai pengawal kesinambungan tradisi dan ajaran empat mazhab dan akidah Ahlusunnah wal Jama’ah.

Nahdlatul Ulama berusaha mempertahankan otoritas ulama dalam menafsirkan ayat atau hadis dari “kecerobohan” penafsiran kaum muda yang mempertanyakan ajaran Islam – yang telah ditafsirkan para ulama salaf saleh (salafus shalih) – yang mereka pandang sudah mapan. Namun itu tidak berarti NU alergi terhadap pembaruan atau modernisme. Beberapa pemikiran Islam modernis juga diserap oleh Nahdlatul Ulama, khususnya berkaitan dengan sistem pendidikan dan kurikulum. Secara perlahan-lahan, madrasah NU juga mengajarkan ilmu umum, di samping pelajaran agama.

Ketika Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) – sebuah federasi longgar dari semua partai dan ormas Islam – terbentuk pada November 1945, NU dan Muhammadiyah menjadi dua pilar utamanya. Namun, menjelang pemilu pertama tahun 1955, NU keluar dari Masyumi dan mendeklarasikan diri sebagai partai Islam. Hasilnya mengejutkan, partai baru itu muncul sebagai pemenang ketiga setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi.

Di awal Orde Baru tahun 1967, semua partai Islam, termasuk NU, dipaksa oleh pemerintah Soeharto untuk berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Merasa selalu tersingkirkan, terutama karena dominasi peran Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) – yang boleh dikata merupakan jelmaan Masyumi – maka dalam muktamar di Situbondo, Jawa Timur (1984), NU mundur dari PPP, bahkan kemudian menyatakan “kembali ke khitah 1926” alias tidak berpolitik.

Itu tak berarti NU tak berpolitik sama sekali. Sebab, “kembali ke khitah 1926” berarti juga konsolidasi besar-besaran – yang tiada lain juga merupakan langkah politik strategis. Keputusan yang sangat tepat itu belakangan ternyata klop dengan suasana politik paska reformasi tahun 1998 ketika demokrasi mulai mekar. Ketika itulah NU membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dan dalam pemilu yang cukup demokrasi, 7 Juni 1999, PKB berhasil leading debagai “lima besar.”

Organisasi

Tujuan

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Usaha

  1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
  2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
  3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
  4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
  5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.

Struktur

  1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
  2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
  3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri
  4. Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
  5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)

Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:

  1. Mustayar (Penasihat)
  2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
  3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)

Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:

  1. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
  2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)

Jaringan

Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi:

  • 33 Wilayah
  • 439 Cabang
  • 15 Cabang Istimewa yang berada di luar negeri
  • 5.450 Majelis Wakil Cabang / MWC
  • 47.125 Ranting

SUMBER 1
SUMBER 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar